1. Dari Abu Sai'd, Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
"Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun'alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
2. Dari Mu'adzah, ia berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada 'Aisyah,
"Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?"
'Aisyah menjawab,
"Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu'alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho'nya."
Atau 'Aisyah berkata, "Kami pun tidak mengqodho'nya." (HR. Bukhari no. 321)
3. Dalam hadits Mu'adzah, ia pernah bertanya pada 'Aisyah radhiyallahu 'anha,
"Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?"
Maka Aisyah menjawab, "Apakah kamu dari golongan Haruriyah?"
Aku menjawab, "Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya."
Dia menjawab, "Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat'.”
(HR. Muslim no. 335)
Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho' puasanya. (Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)
4. Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur'an dan hadits-hadits yang shahih." (Al Majmu', 2: 359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama." (Majmu' Al Fatawa, 21: 624)
5. Allah Ta’ala berfirman,
"Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid." (QS. Al Baqarah: 222).
Imam Nawawi berkata, "Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan.
Dan menurut ulama Syafi'iyah, maksud mahidh adalah darah haid."
(Al Majmu', 2: 343)
6. Dalam riwayat yang muttafaqun'alaih disebutkan,
Dari 'Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu'alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata,
"Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima') sebagaimana Nabi shallallahu'alaihi wa sallam menahannya?"
(HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293).
Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, "Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya". Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.
7. Ketika 'Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda padanya,
"Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka'bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
"Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun'alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
2. Dari Mu'adzah, ia berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada 'Aisyah,
"Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?"
'Aisyah menjawab,
"Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu'alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho'nya."
Atau 'Aisyah berkata, "Kami pun tidak mengqodho'nya." (HR. Bukhari no. 321)
3. Dalam hadits Mu'adzah, ia pernah bertanya pada 'Aisyah radhiyallahu 'anha,
"Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?"
Maka Aisyah menjawab, "Apakah kamu dari golongan Haruriyah?"
Aku menjawab, "Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya."
Dia menjawab, "Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat'.”
(HR. Muslim no. 335)
Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho' puasanya. (Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)
4. Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur'an dan hadits-hadits yang shahih." (Al Majmu', 2: 359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama." (Majmu' Al Fatawa, 21: 624)
5. Allah Ta’ala berfirman,
"Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid." (QS. Al Baqarah: 222).
Imam Nawawi berkata, "Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan.
Dan menurut ulama Syafi'iyah, maksud mahidh adalah darah haid."
(Al Majmu', 2: 343)
6. Dalam riwayat yang muttafaqun'alaih disebutkan,
Dari 'Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu'alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata,
"Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima') sebagaimana Nabi shallallahu'alaihi wa sallam menahannya?"
(HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293).
Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, "Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya". Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.
7. Ketika 'Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda padanya,
"Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka'bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar